Ketidakpastian Hukum Tragedi Pulau Rempang
Sumber Gambar: Wanasari/Tim Tv One (Mahasiswa Audiensi ke BP Batam soal Kasus Pulau Rempang, Wali Kota Bocorkan Alasan Pengosongan Lahan)
OPINI


Kawasan Pulau Rempang masuk sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Dimana, Menko Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto, telah mengesahkan peraturan tersebut tanggal 28 Agustus 2023 lalu. Tragedi Pulau Repang tersebut menambah daftar suram pelaksaan PSN di masa pemerintahan Presiden Jokowi sering kita dengar berita terkait dengan keributan dan tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah. Sebelum adanya kisruh di Pulau Rempang, kisruh juga pernah terjadi di Desa Wadas, Purworejo yang mana kawasan tersebut juga masuk dalam PSN. Terdapat kesamaan dalam kasus tersebut yaitu sama-sama melakukan tindakan represif untuk mengusir masyarakat dari tempat tinggalnya untuk memperlancar pelaksanaan PSN. Kesamaan lain adalah tidak diakuniya hak mereka selaku warga negara untuk hidup tinggal aman dan sejahtera diatas tanah nenek moyang. Dengan adanya tindakan tersebut tentunya memimbulkan pertanyaan bagaiamana bisa masyarakat terusir dari tempat tanah mereka.
Daerah Otorita batam ada berdasarkan atas Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Adanya kepres tersebut seolah memaksa masyarakat untuk menyerahkan tanah mereka ke negera, karena dalam Kepres tersebut menentukan jika seluruh tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan Hak Pegelolaan (HPL) kepada ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Munurut Prof. Satjipto Raharjo penguasaan mempunyai unsur faktual dan adanya sikap batin, artinya secara faktual yaitu mempunyai hubungan nyata antara tanah dengan orang, sedangkan sikap batin artinya adanya maksud untuk menguasi atau menggunakanya tanah tersebut untuk memenuhi hak hidupnya (Agus Riyanto dan Padrisan Jamba: 2017). Kepres tersebut seolah menghilangkan nilai sejarah dan histori atas tanah bagai masyarakat yang menempati wilayah Batam. Disamping itu hak-hak peseorangan di wilayah Batam menjadi terbatas. Kepres tersebut tidak 100% salah karena nilai besar yang ada dalam kepres tersebut mempunyai tujuan untuk menjaga tanah supaya tidak beralih kepada investor, sehingga investor cukup menyewa tanah kepada Otorita Batam dan tanah tersebut tetap menjadi kepemilikan negera kita. Akan tetapi kesalahan muncul karena penafsiran yang salah yaitu ketika pemerintah seolah akan melegalkan semua cara supaya investor dapat masuk ke Otoritas Batam termasuk ke pulau Rempang, yang mana pemerintah lupa jika di sana masih ada rakyatnya yang tinggal dan bermukim.
Terdapat dua pengertian berkenaan dengan penguasaan atas tanah yang menenurt Budi Harsono yaitu penguasaan yaitu penguasaan atas fisik tanah dan penguasaan yuridis atas tanah (Budi Harsono: 2007). Penguasaan fisik adalah penguasaan secara nyata atas tanah tersebut yaitu menghuni, menempati atau mengolah. Penempatan yuridis ada penempatan tanah yang sesai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Akan tetapi penguasaaan yurisdi tersebut tetap harus berdasarkan prosedur dan tata cara yang jelas. Untuk kasus Rempang penguasaan tanah dapat berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA yang mengamanatkan bahwa, hak menguasai dari Negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantara dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Keberadaan Kampung Tua, Kelurahan Sembulang sebenarnya menunjukkan jika masyarakat adat masih ada di Batam, yang mana masyarakat adat sampai dengan saat ini masih diakui dan lindungi keberadaanya. Eksistensi masyarakat adat telah diatur dalam Pasal 1 dan 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Hal ini mempertegas eksistensi masyarakat hukum adat Kampung Tua di Batam. Pemerintah Batam sendiri telah mengeluarkan regulasi mengenai Eksistensi Kampung Tua/Nelayan di Kota Batam yang diatur dalam Keputusan Walikota Batam Nomor 105/HK/IV/2004, tertanggal 23 April 2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua Di Kota Batam. Hal ini menjelaskan jika Pemerintah daerah sebagai pemengan hak otomoni telah membuat kajian atas kampung tua termasuk di dalamnya adalah masyaraat melayu di Pulau Rempang. Salah satu isi keputusan Wali Kota Batam ini adalah tidak merekomendasikan Kampung Tua menjadi bagian dari hak pengelolaan.
Dengan demikian sebenarnya terdapat perbedaan pandangan melihat posisi tanah di Pulau Rempang. Pemerintah seharusnya tetap memperhatikan aspek histori atas tanah tersebut tidak semata-mata melihat keuntungan dari adanya investasi. Saat ini investasi adalah hal penting di Indonesia terutama untuk meningkatkan pendapatan negera. Akan tetapi investasi tersebut jangan sampai justru menciderai rasa kemanusiaan. Masyarakat rempang sejak sebelum adanya peraturan Otorita Batam sudah menghuni pulau tersebut. Aspek sosial budaya seharunya menjadi salah satu kajian dalam pembangunan. Pemeritah dapat mengikutsertakan partisipasi masyarakat rempang dalam melakukan pembangunan kawasan tersebut dengan cara tetap membiarkan masyarakat tetap mejalankan kehidupanya di Pualau Rempang. Pemerintah dapat menjadikan kampung tua tersebut sebagai kawasan cagar budaya suapaya keberadaan kampug tau tersebut tdak hilang. Jangan sampai keberadaan kampung tua ini hilang digantikan dengan hak guna bangunan atas HPL Otorita Batam atau justru masyarakat mendapat ganti rumah dengan dengan setatus HGB diatas HPL Batam.
Perlu kita ketahui jika masyarakat adat telah diakui oleh PBB yaitu tertuang dalam deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) pada tahun 2008 yang mana dalam deklarasi tersebut mengakui adanya konsep persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (Free, Prior and Informed Consent /FPIC) (Amnesty Indonesia: 2022). Berdasarkan deklarasi tersebut masyarakat adat mempunyai hak untuk untuk menyampikan, mengambil keputusan mengenai hl-hal yang mempengaruhi nilai, tradisi, dan cara hidupnya. Masyarakat adat sebelumnya harus mendapat informasi yang memadai dan menyeluruh atas pembagunan di wilayahnya, masyarakt adat harus memberikan izin terlebih dahulu
Dengan kondisi yang demikian, jika dibiarkan tentu saja akan mengakibatkan hilangnya kepastian hukum di masyarakat. Apalagi bagi daerah-daerah yang masuk dalam wilayah PSN tentu saja akan berpotensi terjadi peristiwa serupa. Mengingat pemerintah masih melakukan tindakakan represif dengan mengunakan kekuatan mereka untuk memaksa sipil supaya dapat mengikuti kehendak negara.